Muamalah

LIMA PILAR MUAMALAH

Secara historis, bila diringkaskan, 'Amal Muamalat di kalangan kaum Muslim dapat kita kenali di dalam lima pilar Muamalat, setelah pilar yang pertama yang harus mendahuluinya, yakni pembentukan jamaah dilakukan, adalah berikut ini.

1. Pasar
Pilar pertama yang kini hampir sepenuhnya runtuh adalah pasar, yakni tempat-tempat umum untuk masyarakat berdagang. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menyatakan bahwa pasar sama dengan masjid, tidak boleh dimiliki secara pribadi, tidak ada sewa, tanpa pajak, dan tidak ada bangunan permanen: terbuka penuh bagi siapa pun. Yang ada di sekeliling kita saat ini, bahkan yang disebut sebagai "Pasar Tradisional" sekali pun, bukanlah pasar menurut hukum syariat. Bangunan-bangunan permanen tersebut adalah kumpulan kios milik orang-perorang, yang untuk pemilikannya pun dikenai berbagai pajak pula. Penyelenggaraan Pasar Muamalah di berbagai kota adalah awal dari upaya pengembalian pasar-pasar terbuka.

2. Dinar dan Dirham
Pilar kedua adalah alat tukar (uang) yang halal. Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam menyebutkan enam jenis alat tukar ini, yakni emas, perak, gandum, barle, kurma, dan garam (dalam riwayat lain disebut kismis). Ringkasnya, alat tukar yang halal haruslah berupa komoditi yang umum dipakai sebagai alat jual-beli, yang paling lazim di antaranya adalah uang emas (Dinar) dan uang perak (Dirham). Tanpa alat tukar berbasis komoditi, berbagai transaksi Muamalat --- khususnya utang-piutang dan jual beli --- tidak dapat berlaku adil, karena bersifat merugikan salah satu pihak.

3. Karavan Pedagang
Pilar ketiga, sesudah pasar dan mata uang, tentu saja, adalah keberadaan para pedagang itu sendiri, baik secara sendiri-sendiri atau berombongan dalam rombongan keliling, dulu dikenal sebagai Kafilah-kafilah (Karavan). Para pedagang adalah penggerak utama ekonomi, baik dengan modal sendiri, maupun bermitra dengan para investor. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mengindikasikan bahwa "9/10 rezeki ada pada perdagangan." Lagi-lagi, yang kita lihat di sekeliling kita saat ini, bukanlah pedagang dan perdagangan. Mereka adalah "buruh-buruh lepas" pabrikan, yang diperlakukan sebagai outlet-outlet distribusi produk mereka.

4. Paguyuban Produsen
Pilar keempat, ketika pasar telah tersedia dan ramai dikunjungi para pedagang dan pembeli, maka produksi akan tumbuh kembali di tangan masyarakat, melalui serikat-serikat (paguyuban/perkongsian) produksi. Dalam serikat-serikat produksi (di Eropa dikenal dengan Gilda) inilah bekerja sebagian besar orang sebagai para pemilik atau mitra-pemilik (co-owner). Dalam Muamalat, posisi majikan-buruh adalah perkecualian belaka, berkebalikan dengan keadaan saat ini, ketika pemilikan adalah perkecualian, dan perburuhan adalah kelaziman.

5. Kontrak Bisnis Berkeadilan
Pilar kelima, sebagai konsekuensi dari kembalinya keempat pilar di atas, adalah kontrak-kontrak bisnis dan komersial menurut syariat: Qirad (Mudharabah), Syirkat (perkongsian), Muzara'ah (bagi hasil), dan sebagainya. Qirad (Mudharabah) adalah kontrak kemitraan usaha dagang, antara pemodal dan agen yang ditunjuknya. Syirkat adalah kemitraan produksi sekunder. Muzara'ah adalah kemitraan produksi primer, seperti dalam pertanian dan perkebunan, di Jawa dikenal dengan istilah Maro.

Semua yang dikemukakan di atas barulah garis besar. Banyak hal rinci tentang Muamalah yang masih harus kita pelajari dan amalkan.

#SayNOtoRIBA
#PasarMuamalahNusantara
#EkonomiSyariahBerjamaah